Rabu, 19 Desember 2012

Sebuah Do'a yang Indah

Do'a paling indah yang diajarkan kepada kita selaras dengan waktu dan keadaan yang tepat, dan menampilkan di hadapan kita gambaran rohanian yang dimiliki oleh fitrat, ialah do'a yang telah diajarkan kepada kita oleh Tuhan Yang Maha Pengasih di dalam Kitab Suci-Nya, Al-Quran Suci, yakni dalam Surah Al-Fatihah (Filsafat Ajaran Islam). Al-Fatihah merupakan jantungnya Al-Qur'an, dan menjadi do'a untuk meminta segala kebutuhan kita.

Do'a hendaknya menjadi kebutuhan jiwa kita, buka hanya dikala kita mengalami kegelisahan hati atau pun dikala musibah terjadi, tetapi... disaat kebahagiaan menghampiri pun do'a akan menjadi bentuk syukur kita pada Tuhan, karena dikala hidup kita "senang" itulah ujian sesungguhnya apakah kita akan terus menggapai kasih sayang Tuhan atau sebaliknya, kita melupakannya karena terbuai kesenangan duniawi.

Do'a itu mempunyai kekuatan yang luar biasa, tidak ada yang tidak mungkin tanpa sebuah do'a. Ikhtiar dan sabar merupakan bagian yang mengiringi do'a-do'a kita. Ketika kita merasa do'a kita belum dikabulkan oleh Tuhan, janganlah berputus asa, teruslah panjatkan do'a dengan penuh kesungguhan hati dan teteskan tiara bening kita. Diibaratkan seperti seorang anak kecil yang meminta "sesuatu" kepada orang tuanya, hingga dia menangis meminta pada orang tuanya, hingga orang tua mana yang tak akan iba ketika melihat anaknya menangis, dan tentunya akan mengabulkan permintaan anaknya jika memang itu merupakan hal yang baik untuk anaknya. Maka ketika kita berdo'a jadilah kita seperti "seorang anak kecil yang menangis ketika meminta sesuatu pada orang tuanya".

Karena Tuhan Maha Mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya, kapan saat yang tepat untuk pengabulan do'a kita dan semua itu akan terjadi pada waktu yang telah Tuhan rencanakan, sebab rencana Tuhan akan selalu indah. Lalu dimana makna ikhtiar dan sabar? Tanpa kita sadari, segala sesuatu yang kita capai dan kita peroleh dengan do'a dan diiringi ikhtiar serta sabar itu akan bermuara pada suatu kenikmatan yang tidak akan terlukiskan, suatu kebahagiaan yang tidak akan mampu dirangkai oleh kata-kata.

Maka dari itu "Jadilah Kita Orang yang Berdo'a" (Review of Religions; Agustus 1988, hal 38)
1. Jika Anda ingin menyatakan dan menjalani penderitaan hidup ini dengan kesabaran; jadilah 
    orang yang berdo'a.
2. Jika Anda ingin mendapatkan kesucian dan kekuatan untuk mengatasi cobaan-cobaan; 
    jadilah orang yang berdo'a.
3. Jika Anda ingin memulai kehendak Anda dengan hasrat dan kecondongan; jadilah orang 
    yang berdo'a.
4. Jika Anda ingin hidup senang dan berjalan dengan mudah segala jalan pengampunan dan 
    usaha; jadilah orang yang berdo'a.
5. Jika Anda ingin tahu langkah-langkah syaitan dan mempertahankan diri dari gangguannya; 
    jadilah orang yang berdo'a.
6. Jika Anda ingin menjauhkan dari jiwa Anda ketidakberuntungan; jadilah orang yang berdo'a.
7. Jika Anda ingin teguh dengan iman yang kuat dan menjaga jiwa Anda dengan keinginan-
    keinginan dan pemikiran-pemikiran yang baik; jadilah orang yang berdo'a.
8. Jika Anda ingin meneguhkan hati Anda menuju Tuhan; jadilah orang yang berdo'a.
9. Jika Anda ingin menghilangkan keburukan dari jiwa Anda dan menanamkan bunga-bunga 
    kebaikan; jadilah orang yang berdo'a.

Senin, 17 Desember 2012

SADIS

Sudah  1 tahun berlalu, gurat senyum terlukis diwajahku ketika dia menjadi bagian cerita dalam hidupku. Bahagia..itulah rasa yang mendominasi diri saat mengenalnya. Dia menjadi sosok yang membuat serpihan hati ini kembali utuh. Menggoreskan tinta biru dalam hidup, menyinari dengan cahaya penuh indah. Tak terduga, itulah awal perjumpaan itu terjadi..tak terduga akan sosoknya yang selalu terlintas dalam angan dan harapan diri..

Ada rasa dalam hatinya..ada harapan dalam matanya..ada keyakinan dalam lisannya..
Tapi semua berubah menjadi keraguan, keraguan akan sosoknya yang tak kunjung pasti, datang…dan seketika hilang bersama malam. Aku menunggunya..aku menantinya..dalam sujud ku lantunkan do’a untuknya, berharap kembali menjemput cahaya yang kian hilang dalam kegelapan. Hilang..begitulah dia yang tak pasti. Hilang..meninggalkan harapan penuh air mata.

Sadis….
Ya..sadis ketika sosok itu kembali memberikan harapan yang bukan untukku. Harapan yang selama ini tumbuh kukira salah. Seketika harapan itu sirna, terhapus seiring tiara bening yang tumpah. Sadis caranya, ketika penantian ini tak berarti untuknya. Sadis sikapnya ketika sesuatu yang utuh pun kembali pecah. Sosoknya datang dan pergi begitu sadis meninggalkan bekas yang begitu dalam.

Aku hanya mampu menumpahkan luapan rasa ini dalam sujudku, menanamkan keikhlasan, manatap hidup penuh syukur karena semua ini adalah bagian dari sekenario-Nya untukku yang Dia sayangi, untukku agar belajar ikhlas dan sabar. Tercurah untaian do’a penuh ikhlas untuk dia dan pilihannya…

SEPUCUK SURAT AYAH “JANGAN BODOH MENCARI JODOH”

Masih mengupas buku JBMJ nya Brili Agung Zaky Pradika, ada bagian kalimat indah dalam sepucuk surat yang dapat menguras air mata jika kita membacanya, yaitu sepucuk surat yang ditulis oleh seorang ayah untuk seorang pria yang akan menjadi calon menantunya. Mari dibaca dan dihayati yah….

Kepadamu, pria yang telah meluluhkan hati putriku
Engkau perlu tahu,
Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mampu mengalahkan cintaku pada putriku
Masih jelas dalam ingatanku kala mengumandangkan azan di telinga mungilnya
Saat aku tertatih untuk menggendongnya
Saat aku belajar dari istriku cara memandikannya
Saat aku menatihnya untuk mengajarkannya berjalan
Saat aku membimbingnya mengeja alif, ba, ta
Saat aku menitikan air mata haru kala melihatnya bersekolah untuk pertama kalinya
Saat aku selalu berusaha tenang dan bijaksana saat bicara dengannya
Saat aku melindunginya setengah mati dari pria yang mendekatinya sebelum waktunya
Saat aku menunggunya pulang walau itu larut malam
Saat aku dengan bangga berfoto di sampingnya kala dia wisuda
Saat aku dengan bangga menceritakan segala prestasinya
Hanya satu yang belum aku lakukan untuknya
Menikahkannya dan memberinya restu untuk menyempurnakan agamanya

Dia adalah putriku,
Karunia tercantik dari-Nya untukku
Untuknya, apa pun aku rela lakukan
Demi kebahagiaannya, demi mengukir senyum di wajah cantiknya

Wahai pria pemberani,
Aku tak tahu siapa engkau
Aku belum mengenalmu dengan sempurna
Tapi satu yang perlu engkau tahu
Melihat senyum dan anggukan dari putriku,
Aku sadar bahwa engkaulah pria itu
Pria yang akan menggantikan peranku untuk membahagiakannya
Pria yang akan meneruskan tongkat estafet imam dari ku
Jika kau tahu, hal ini membuatku cemburu
Membuatku iri kepadanya

Tetapi, kebahagiaan untuk putriku adalah prioritasku,
Anak muda, aku tidak perlu janjimu
Aku tidak perlu harta dan takhtamu
Yang aku perlukan adalah bukti bahwa engkau mampu

Mampu bertanggung jawab sepenuhnya untuknya
Mampu lebih baik menggantikan peranku
Mampu memenuhu janjimu, untuk membimbingnya
Membimbingnya lebih dekat kepada-Nya
Mampu membimbingnya berbakti pada orangtuanya
Wahai pria pemberani,
Aku adalah lelaki tua penuh keterbatasan
Maafkan aku jika nanti aku menjadi cerewet padamu
Maafkan aku jika nanti memarahimu
Ini adalah caraku untuk mengajarkanmu peran sebagai suami
Mengajarkanmu peran suami yang dapat dihormati istri
Sesungguhnya jika putriku menyayangimu,
Aku pun akan menyayangimu sebagaimana anakku

Wahai pria pemberani,
Aku pun ingin menjadi sahabat yang baim bagimu
Mendengar cerita dan memberikan solusi terbaik atas pengalamnku
Aku relakan kau menang dariku
Aku kan bangga menobatkanmu menggeser kedudukanku, sebagai pria nomor 1
Dalam membahagiakan putriku
Aku kan menjadi Bapakmu
Yang selalu mengiringi langkahmu dengan untaian doaku
Yang selalu membimbingmu dan menasihatimu..
Wahai pria pemberani,
Aku menerimamu sebagai menantuku..

REFLEKSI DIRI DARI SEBUAH BUKU “JANGAN BODOH MENCARI JODOH”

Hasil karya special dari seorang penulis muda bernama "Brili Agung Zaky Pradika” yang penuh inspirasi dan dapat menjadi bagian refleksi diri dalam hidup. Sebuah buku yang disampaikan dengan bahasa yang santai akan tetapi tetap penuh makna.


Mari kita kupas bukunya dalam “Refleksi Cinta”. Cinta kita kepada makhluk dan kepada dunia tidak boleh melebihi cinta kita pada Allah dan rasul-Nya. Cinta sejati kita pun semata-mata hanya untuk Allah. Cinta kita pun tak terbatas hanya pada lawan jenis, tetapi menebarkan cinta untuk semua makhluk Allah. Tapi cinta juga dapat pecah berkeping-keping, ketika cinta yang suci tidak dijaga pada rel dan koridornya. Tidak mengikuti arah yang sudah ditentukan yang penuh kebaikan. Namun dengan manajemen cinta yang rapi, teratur dan sesuai aturan-Nya, cinta akan menggelora dan menyejukkan siapa pun yang menikmatinya.


Ada bagian yang menarik dari buku ini, tentu saja sesuai dengan judul bukunya “Jangan Bodoh Mencari Jodoh”. Yups…formula ampuh untuk mendapatkan jodoh idaman menjadi bagian yang tidak boleh terlewatkan saat membaca buku ini, bagaimana tidak karena bagian terpenting ini ada pada halaman depan,hehe. Kita kupas sedikit mengenai jodoh. Jodoh untuk orang-orang baik adalah mereka yang baik pula. Lalu jodoh untuk orang-orang yang tidak baik atau belum baik ya, jodohnya adalah mereka yang tidak baik atau belum baik. Eits..tapi tidak ada yang tidak mungkin, ketika kita mengharapkan jodoh dengan “level” yang jauh lebih baik dari kita, maka tidak ada yang salah. Takdir dan nasib itu bisa dirubah. Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menegaskan hal ini. Tapi apa kita hanya diam dan menunggu jodoh impian kita dan dia akan datang menghampiri kita? Ini tentu salah, jika kita merasa masih masih memiliki kekurangan dalam diri kita dan kita mengharap jodoh yang lebih, maka tingkatkanlah “level” kita seperti jodoh yang kita dambakan. So..jodoh itu tidak ditunggu, tetapi kitalah yang harus menjemput jodoh kita. Tidak perlu lari, naik tangga, cukup dengan pantaskan diri kita seperti jodoh yang kita harapkan dan dambakan. Mustahil satu gelas kecil berharap menampung air satu galon. Kalau kita berharap dapat menampung air satu galon, jadikan diri kita seperti ember yang mampu menampungnya.

SENYUM ITU INDAH…

Sebuah pahatan di wajah yang membuat seseorang akan terlihat lebih manis dan indah yaitu senyum. Senyum menjadi bagian terkecil yang dapat kita lakukan dan memberikan manfaat bagi orang lain. Dengan senyum kita dapat menebarkan partikel-partikel kebahagiaan dan kenyamanan bagi semua orang, tentunya akan terlihat lebih indah lagi apabila kita tersenyum dengan hati yang ikhlas, karena keikhlasan itu bermuara pada rasa cinta dan kasih sayang…

Senyum itu indah, tapi keindahan itu pun akan pudar seiring senyum yang hanya menjadi sebuah kamuflase dalam hidup. Menjadi bagian kepura-puraan diri demi sebuah pencitraan. Senyum diciptakan bukan untuk menutupi kekecewaan, senyum diciptakan bukan untuk menutupi sakitnya hati, senyum diciptakan bukan untuk menutupi luapan emosi dan bukan pula menutupi embun di mata yang terlanjur menetes. Senyum diciptakan bukan untuk sebuah kepalsuan diri untuk terlihat “baik-baik saja” tapi hati kita menangis, tersenyum tapi hati kita rapuh. Tapi…jadikanlah senyum itu sebagai pengobat setiap kegundahan diri dan ungkapan rasa syukur pada-Nya..karena itulah yang akan membuat diri kita tetap bisa tegar dan kuat akan setiap deburan ombak yang menghadang.

Begitulah senyum..dapat memberikan efek yang luar biasa pada diri kita. Menjadi bagian pondasi dalam diri kita untuk dapat terus bermanfaat bagi orang lain dengan taburan kebahagiaan. Tetap tersenyumlah selagi Tuhan masih mengizinkan kita untuk terus tersenyum……

HATI MEMILIH “Sebuah cerita tentang rasa”

Mengutip sebuah untaian kalimat penuh makna dari sebuah buku berjudul “Hati Memilih (sebuah cerita tentang rasa)” karya Riawani Elyta. Merangkum makna penuh inspirasi.. 


Setiap air mengalir, cinta pun mengalir menuju muaranya yaitu keikhlasan
Kita tak mampu memilih cinta mana yang hadir dalam cerita perjalanan kita
Dalam paket yang Dia kirim, kita pun tak dapat memilih hanya cinta dan tawa
tanpa masa lalu, tanpa air mata dan tanpa luka..

Katanya, cinta tidak pernah mengajarkan kita untuk menjadi lemah
Tak peduli siapa yang lebih mencintai, jika cinta itu mampu menguatkan
dan mendorong kita untuk ikhlas menghadapi apa pun,
itulah cinta yang harus kita pilih..

Namun, bagaimana jika memang lebih baik kau bersama orang
yang mencintaimu ketimbang orang yang kau cintai?  
Bagaimana jika tetap berdiri di titik semula adalah hal terbaik
untuk yang disebut hari depan?

Biarkanlah….biarkan hati yang memilih,hatimu…hatiku…

Sabtu, 19 Mei 2012

Cerpen "Kupinang Kau Dengan Al-Qur'an"

Namaku Ali, Tepat adzan 'Isya aku sampai di halaman masjid di sebuah komplek perumahan. Usai memarkirkan sepeda motorku di halaman masjid itu, aku bergegas mengambil air wudhu lalu sholat berjama'ah. Selepas sholat 'isya dan ba'diyahnya, aku kembali menuju halaman masjid tempat aku memarkirkan sepeda motorku.

Ada rasa yang mulai tak menentu kala itu. Karena setelah ini aku akan mengunjungi rumah seseorang. Seseorang yang telah dipilihkan oleh guruku, Ust. Utsman. Seseorang itu adalah Fathiyya. Seorang akhwat, perempuan lugu nan mempesona serta baik akhlaqnya. Ia tak banyak bicara dan pandangannya tertunduk jika ada ikhwan di sekitarnya. Pakaiannya sederhana, tetapi jilbabnya istimewa. Hampir separuh bagian atas badannya tertutup oleh balutan jilbab yang anggun.

Sebelum meninggalkan halaman masjid itu, aku menyapa seorang jema'ah masjid,

"Assalaamu'alaikum, pak..."
"Wa'alaikumsalaam warohmatulloh..." jawabnya fasih.
"Maaf pak...saya mau tanya, barangkali Bapak tahu rumahnya Fathiyya?"
"Fathiyya yah? Kamu tahu siapa orangtuanya?"
"Kalau saya tidak salah, nama bapaknya adalah pak Haji Nashiruddin..."
"Bukan Nashiruddin, tapi Nashruddin..." jelasnya.
"Iya...maaf pak, itu yang saya maksud..."

"Rumahnya deket dari sini. Di pertigaan itu kamu belok kiri.
Rumah ketiga disebelah kanan itulah rumahnya..." kata beliau.
"Oh terimakasih pak...kalau begitu saya permisi duluan..." jawabku.
"Motornya dituntun aja, Mas... Kita jalan kaki aja. Kebetulan bapak pulang ke arah situ juga." lanjutnya.
Demi menghormatinya, aku pun menuntun sepeda motorku dan kami berjalan ke arah yang sama. Setelah saya memperkenalkan diri, selama perjalanan kami terlibat pembicaraan seputar kondisi pemuda muslim akhir-akhir ini. Menurut beliau pemuda zaman sekarang sudah jarang sekali yang masih peduli terhadap sholat, apalagi berjama'ah di masjid.

"Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang mangaku muslim, tetapi belum bisa baca Al Qur'an dengan baik" tambahnya. Dan aku hanya meng-iya-kan saja karena memang begitu keadaannya.

Tak begitu lama kami pun sampai di depan sebuah rumah. Sederhana, pagarnya pun tidak begitu tinggi sehingga aku bisa melihat pekarangan rumahnya. Tidak banyak perhiasan di halamannya selain rimbunnya tanam-tanaman dan beberapa pohon di sana.

"Di sini tempat tinggal Fathiyya..." ungkap beliau memutus perbincangan kami.
"Oh ya, pak...terimakasih sudah berkenan mengantar saya." jawabku.

Mendengar jawabanku beliau malah berlalu mendekati pintu pagar dan membukanya.
"Motornya simpan di dalam aja, Nak 'Ali..." ujarnya.

Kontan saja perasaanku tak menentu karena sikap beliau. Tadi bapak ini memanggilku dengan panggilan 'Mas' sekarang beliau malah memanggilku dengan panggilan 'Nak'. Jangan-jangan...???

"Ayo...bawa masuk aja motornya." suara beliau memecah keherananku.
"I..iya..pak..." jawabku dengan suara yang mulai nampak gugup.

Beliau kemudian menghampiri pintu rumah itu dan...
"Assalaamu'alaikum...! Fathiyya Mas 'Alinya udah dateng nih...!"

Perasaanku tak karuan. Aku merasa bahwa sepanjang perjalanan dari masjid tadi aku berbincang dengan seseorang yang namanya salah kuucapkan, Pak Haji Nashruddin, bapaknya Fathiyya...!

Tidak lama kemudian terdengar suara lembut dari dalam...
"Wa'alaikumsalaam warohmatullah..."

Aku mengenal suara lembut itu, sama seperti suara lantunan Al Qur'annya Fathiyya yang kudengar dari ruang sebelah ketika di rumah Ustadz Utsman. Karena di sanalah kami selalu mengadakan pengajian. Para ikhwan di ruang depan, sementara para akhwat di ruang tengah. Ya...suara lembut itu, suara Fathiyya.

Dari balik jendela bertirai itu aku melihat samar-samar sosok akhwat menuju pintu keluar. Menyalami lalu mencium tangan beliau.

"Ayah tumben pulang dari masjidnya lebih awal...?" lanjut akhwat yang ternyata adalah Fathiyya.
"Ayah???" hentakku dalam bathin. Benar dugaanku, beliaulah Pak Haji Nashruddin.
Dan aku tak ingat lagi apa yang mereka bicarakan selanjutnya. Karena pikiran dan perasaanku kian tak menentu. Kakiku pun rasanya berat untuk dilangkahkan. Lalu tiba-tiba...
"Ayo Nak 'Ali...nuggu apa di situ? Mari masuk...!" kata pak H. Nashruddin mengejutkanku.

Singkat cerita, aku sudah berada di ruang tamu rumah itu. Duduk tepat di hadapan Ayahnya Fathiyya. Ada rasa bersalah jika kuingat kejadian di masjid tadi. Hingga aku pun mengutarakan rasa bersalahku...

"Saya mohon maaf pak...tadi sewaktu di masjid...saya kira..."
"Sudah, sudah...enggak apa-apa!" ucapnya memutus perkataanku yang semakin gugup.
"Enggak ada yang salah kok, dan enggak perlu minta maaf..." sambungnya.
Namun tetap saja perasaanku tidak enak, ditambah lagi rasa gugup yang menyelimutiku. Sehingga bathinku terus menerus membisikkan do'a,

"Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku." (QS Thohaa : 25-28)

Kami pun mulai berbincang kembali. Ternyata beliaulah yang meminta melalui Fathiyya agar Ustadz Usman menyuruhku datang kerumahnya. Untuk sekedar bershilaturrahiim dan mungkin memastikan keseriusan niat suci kami. Selanjutnya beliau menanyakan tentang asal-usulku juga asal-usul keluargaku. Lalu tentang aktifitas kerjaku dan kesibukkanku yang lainnya.

Di tengah perbincangan kami, tiba-tiba Fathiyya datang dengan sebuah nampan di tangannya. Di atas nampan itu ada dua gelas minuman yang tampak masih mengepul hangat. Baru kali ini aku bisa melihat Fathiyya dari jarak yang cukup dekat. Yaitu saat ia menaruh gelas satu-persatu ke atas meja yang berada diantara aku dan Ayahnya. Ia berwajah manis dengan kulit sawo matang. Serta balutan jilbab di tubuhnya membuatnya nampak begitu mempesona.

"Ehm ehem...silakan diminum Nak 'Ali..." suara Pak Nashruddin mengalihkan keterpanaanku pada Fathiyya.
"O..iya..Pak, makasih..." jawabku terkejut.
Kuperhatikan lagi sekilas wajah Fathiyya tersenyum simpul. Mungkin dia menertawakan kegugupanku. Membuat debaran di dalam dadaku kian kencang.

Perbincangan pun berlanjut. Kali ini beliau menanyakan kepastianku untuk menunaikan niat suciku pada putrinya. Menggenapkan separuh Dienku bersama putri semata wayangnya, Fathiyya. Hingga akhirnya aku menyatakan diri untuk melamar putrinya.

"Bapak sih tergantung Fathiyya. Yang penting, calon imam Fathiyya kelak harus bisa ngaji Al Quran dengan baik dan benar! Supaya dia bisa membimbing Fathiyya menjadi istri yang shalihah. Nah kalau tidak keberatan, Bapak ingin kamu membacakan beberapa ayat saja. Surat Luqman ayat 12 sampai 15." sambil menyerahkan Al Quran cetakan Timur Tengah.

Saat ku terima Al Quran dari tangan beliau, desiran kegugupanku semakin kencang. Ia menjalar ke setiap pori-pori di tubuhku. Aku mulai merasakan keringat dingin meliputiku. Mendadak aku lupa surat Luqman urutan ke berapa. Apalagi di Al Quran cetakan Timur Tengah, tidak mencantumkan nomor surat di setiap surat-suratnya. Lembar demi lembar mushafnya kususuri, hingga kutemukan ayat yang dimaksud. QS Luqman ayat 12 - 15.

Dengan teliti dan berhati-hati, aku mulai membaca ayat demi ayat yang diminta beliau. Kubaca dengan sepenuh kemampuanku. Huruf demi huruf, tajwid demi tajwid, kubaca sebaik mungkin. Selesai membaca rangkaian ayat tersebut, ku angkat pandanganku dari mushaf ke arah beliau. Kulihat beliau hanya termenung tanpa sedikit pun ekspresi diwajahnya. Sesekali beliau mengangguk-anggukan kepala. Entah apa yang akan dikatakan beliau.

"Mmmh...suaranmu bagus! Murottalmu juga enak didengar! Tidak menjenuhkan meskipun bacaannya panjang. Tapi...ada beberapa hal yang harus kamu sempurnakan."

Mendengar pernyataan beliau, rasa gugup di dadaku kini mulai menyebar ke arah kepalaku.
"MasyaAllah..." ungkapku membathin, ternyata bacaanku belum sempurna menurut beliau.

"Pertama...Makhorijul hurufmu kadang meleset. Harus jelas beda antara Syin dan Shod, Dzal dan Dal, Zay dan Zho, Tsa dan Sin, juga huruf yang lainnya..."
"Astaghfirullah...seburuk itukah makhorijul hurufku" kataku dalam hati.
Hal yang nampak sepele menurutku, tapi justru itu malah jadi kesalahan pertamaku.

"Kedua...Mad mu juga tidak istiqomah. Mana Mad Ashli, mana Mad Arid Lisukun. Mad ashli kamu jadikan Mad Jaiz, Mad Arid Lisukun malah kamu jadikan Mad Ashli. Kadang Mad Ashli tidak kamu baca panjang..."
Rasa gugup yang menyelimuti kepalaku kini serasa meledak di dalamnya.

"Ketiga...ikhfa mu masih ada yang terdengar izhar.Lalu perhatikan mana tanda waqof, mana tanda washol. Teruuus........"

Suara beliau kini tak dapat kuperhatikan lagi. Karena ledakkan dalam kepalaku seakan meluluh lantahkan isinya. Keringat dingin pun kian menderas disekitar kerah bajuku. Jasadku mungkin dihadapan beliau, tetapi jiwaku entah kemana, seakan menghindari keadaan yang begitu memalukan menurutku. Dan entah apa lagi yang diucapkan beliau, yang pasti banyak kekurangan yang harus kusempurnakan.

"Kamu baik-baik aja, Nak 'Ali...?" tanya beliau menyadarkan aku dari kegalauan.
"I...iya...ustadz, eh Pak..." jawabku semakin kacau.
"Ya sudah...mungkin kamu lagi kurang enak badan hari ini. Bapak hanya mau menyarankan kamu supaya kamu mau belajar lagi menyempurnakan bacaanmu. Kamu bisa hubungi keponakan Bapak, dia seorang pengajar Al Quran di MAQDIS, ini kartu namanya." kata beliau sambil menyerahkan sebuah kartu nama.

Dalam perasaan yang tak dapat lagi kugambarkan itu, aku berusaha meraih kartu nama yang diserahkan beliau. Tapi tanganku terasa berat meraihnya. Kartu nama yang sudah sampai ditanganku pun terasa berat. Lalu kubaca, di sana tertulis nama "Utsman Fathurrahman, S.Ag."!
"Ustadz Utsman...?!" ucapku dengan spontan, terkejut.
"Ya...Ustadz Utsman, dia putra dari adik sepupu Bapak" jawab beliau.

Bukankah Ustadz Utsman itu adalah murobbiku? Dan istrinya adalah murobbi Fathiyya. Ternyata Ustadz Utsman masih ada hubungan kerabat dengan keluarga Fathiyya. Aku baru tahu.

"Kamu mnengenalnya bukan?" tanya beliau.
"Iya Pak...saya kenal sekali Ustadz Utsman. InsyaAllah saya akan belajar lebih baik lagi kepada beliau"
"Bagus, kalau begitu. Bapak senang melihat pemuda yang semangat dalam mencari ilmu."
"Jadi...kapan saya harus kesini lagi Pak...?" tanyaku ingin segera mengakhiri perbincangan.
"Untuk apa...?" jawabnya singkat.
"Di test ngaji lagi?"
"Oh...enggak perlu, untuk apa di test lagi...???"

Bagai halilintar di tengah siang, pikiranku meledak lagi. Semua rasa yang tak dapat kugambarkan lagi menyerang seluruh isi ragaku. "Aku ditolak" bisikku dalam bathin. Ingin rasanya aku segera pergi meninggalkan rumah ini. Meninggalkan rasa-rasa yang kubenci ini. Meninggalkan harapan niat suciku bersama Fathiyya.

"O iya...titip salam buat orangtuamu, dari kami." lanjut beliau menyadarkan aku.
"InsyaAllah..Pak...nanti saya sampaikan." jawabku lirih.
"Sampaikan juga pada mereka, kapan bisa shilaturrahim kesini? Untuk memastikan kapan kamu dan Fathiyya melangsukan akad nikah..."

Subhanallah...!!! Kali ini entah apa yang aku rasakan. Semua rasa yang menekan ku dari tadi, kini telah sirna begitu saja. Berganti menjadi rasa yang entah bagaimana aku harus menggambarkannya.

"Jadi...maksud Bapak...lamaran saya diterima???" tanyaku dengan rasa gugup bercampur gembira."Memangnya siapa yang menolak lamaran kamu, Nak 'Ali...? Bukankah Nabi kita SAW mengingatkan,
'Kalau datang lelaki yang kalian sukai karena agamanya, untuk melamar putri kalian, maka nikahkanlah dia dengan putri kalian tersebut. Kalau kalian tidak menikahkan mereka, niscaya akan terjadi bencana dan kerusakan besar di muka bumi.'.
Jadi.. rasanya tidak ada alasan lagi untuk Bapak ataupun Fathiyya menolak lamaran kamu."

Alhamdulillah...akhirnya pinanganku diterima. Meskipun dengan bacaan yang belum sempurna menurut beliau. Menuntutku untuk belajar lebih baik lagi. Menyempurnakan lagi bacaanku hingga tiba waktunya kami genapkan separuh Dien kami.

Fathiyya... kupinang engkau dengan Al Quran...

Sumber :noname